Kamis, 17 Februari 2011

Contoh PTK

PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Oleh : Prof. Dr. Suwarsih Madya

Bagian III

Langkah-Langkah Penelitian Tindakan
Ada beberapa langkah yang hendaknya diikuti dalam melakukan
penelitian tindakan (lihat misalnya Cohen dan Manion, 1908; Taba dan Noel,
1982; Winter, 1989). Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: (1)
mengidentifikasi dan merumuskan masalah; (2) menganalisis masalah; (3)
merumuskan hipotesis tindakan; (4) membuat rencana tindakan dan
pemantauannya; (5) melaksanakan tindakan dan mengamatinya; (6) mengolah dan
menafsirkan data; dan (7) melaporkan.
Secara alami, langkah-langkah itu biasanya tidak terjadi dalam alur yang
lurus. Apabila terjadi perubahan masalah pada waktu dilakukan analisis masalah,
maka diperlukan identifikasi masalah yang baru. Data diperlukan untuk
memfokuskan masalahnya dengan mengidentifikasi faktor penyebab, dalam
menentukan hipotesis tindakan, dalam evaluasi dsb.

1. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Seperti telah disinggung di muka, PTK Anda dilakukan untuk mengubah
perilaku Anda sendiri, perilaku sejawat dan murid-murid Anda, atau mengubah
kerangka kerja, proses pembelajaran, yang pada gilirannya menghasilkan
perubahan pada perilaku Anda dan sejawat serta murid-murid Anda. Singkatnya,
PTK Anda lakukan untuk meningkatkan praktik pembelajaran Anda. Contoh-
contoh bidang garapan PTK:
a. metode mengajar, mungkin mengganti metode tradisional dengan metode
penemuan;
b. s trategi belajar , menggunakan pendekatan integratif pada pembelajaran
daripada satu gaya belajar mengajar;p


c. rosedur evaluasi, misalnya meningkatkan metode dalam penilaian
kontinyu/otentik;
d. penanaman atau perubahan sikap dan nilai, mungkin mendorong timbulnya
sikap yang lebih positif terhadap beberapa aspek kehidupan;
e. pengembangan profesional guru misalnya meningkatkan keterampilan
mengajar, mengembangkan metode mengajar yang baru, menambah
kemampuan analisis, atau meningkatkan kesadaran diri;
f. pengelolaan dan kontrol, pengenalan bertahap pada teknik modifikasi
perilaku; dan
g. administrasi, menambah efisiensi aspek tertentu dari administrasi sekolah
(Cohen dan Manion, 1980: 181).

a. Identifikasi masalah
Seperti dalam jenis penelitian lain, langkah pertama dalam penelitian
tindakan adalah mengidentifikasi masalah. Langkah ini merupakan langkah yang
menentukan. Masalah yang akan diteliti harus dirasakan dan diidentifikasi oleh
peneliti sendiri bersama kolaborator meskipun dapat dengan bantuan seorang
fasilitator supaya mereka betul-betul terlibat dalam proses penelitiannya.
Masalahnya dapat berupa kekurangan yang dirasakan dalam pengetahuan,
keterampilan, sikap, etos kerja, kelancaran komunikasi, kreativitas, dsb. Pada
dasarnya, masalahnya berupa kesenjangan antara kenyataan dan keadaan yang
diinginkan.
Masalahnya hendaknya bersifat tematik seperti telah disebutkan di atas
dan dapat diidentifikasi dengan pertolongan tabel dua arah model Aristoteles.
Misalnya dalam bidang pendidikan, ada empat sel lajur dan kolom, sehubungan
dengan anggapan bahwa ada empat komponen pokok yang ada di dalamnya
(Schab, 1969) yaitu: guru, siswa, bidang studi, dan lingkungan. Semua komponen
tersebut berinteraksi dalam proses belajar-mengajar, dan oleh karena itu dalam
usaha memahami komponen tertentu peneliti perlu memikirkan bubungan di
antara komponen-komponen tersebut.


Berikut adalah beberapa kriteria dalam penentuan masalah: (a) Masalah
harus penting bagi orang yang mengusulkannya dan sekaligus signifikan dilihat
dari segi pengembangan lembaga atau program; (b) Masalahnya hendaknya dalam
jangkauan penanganan. Jangan sampai memilih masalah yang memerlukan
komitmen terlalu besar dari pihak para penelitinya dan waktunya terlalu lama; (c)
Pernyataan masalahnya harus mengungkapkan beberapa dimensi fundamental
mengenai penyebab dan faktor, sehingga pemecahannya dapat dilakukan
berdasarkan hal-hal fundamental ini daripada berdasarkan fenomena dangkal.
Berikut ini beberapa contoh masalah yang diidentifikasi sebagai fokus
penelitian tindakan: (1) rendahnya kemampuan mengajukan pertanyaan kritis di
kalangan mahasiswa; (2) rendahnya ketaatan staf pada perintah atasan; (3)
rendahnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris; (4)
rendahnya kualitas pengelolaan interaksi guru-siswa-siswa; (5) rendahnya kualitas
pembelajaran bahasa Inggris ditinjau dari tujuan mengembangkan keterampilan
berkomunikasi dalam bahasa tersebut; dan (6) rendahnya kemandirian belajar
siswa di suatu sekolah menengah atas.
Masalah hendaknya diidentifikasi melalui proses refleksi dan evaluasi,
yang dalam model Kemmis dan Taggart disebut reconnaissance, terhadap data
pengamatan awal. Masalah rendahnya kualitas pembelajaran bahasa Inggris
ditinjau dari tujuan mengembangkan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa
tersebut (lihat nomor 5 di atas) diidentifikasi berdasarkan hasil pengamatan awal
terhadap proses pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Sebagai contoh, cuplikan
proses pembelajaran bermasalah tersebut disajikan dalam ilustrasi di bawah ini.

Ketika guru masuk kelas, pada jam 7 pagi, 5 Agustus 2002, murid-murid kelas IV
SD itu sangat ribut. Beberapa mondar-mandir di depan kelas, beberapa
berkelakar, dan yang lain bercakap-cakap satu sama lainnya. Sadar gurunya sudah
datang mereka terdiam dan mencari meja masing-masing. Mereka lalu duduk
manis, tangan di meja, dengan tangan kanan menumpangi tangan kiri. Guru
memberi salam, “ Good morning, children .” Murid-murid menjawab, “ Good


morning, Mam.” “Is anybody absent ?” Tidak ada yang menjawab. Lalu dia
mengulangi pertanyaan dalam bahasa Indonesia, “Ada yang tidak masuk?”
Mereka saling berpandangan sebentar. “Tidak ada, Bu,” kata Sutanto, ketua
kelasnya. “Bagus. Hari ini kalian akan belajar nama-nama binatang. Kalian sudah
siap?” “Sudah, Bu,” jawab murid-murid serentak. “ Good. Prepare your pens and
notebooks. Copy the words from the board. ” Tidak ada yang menanggapi. “Kalian
mengerti maksud Ibu?” “Tidak, Bu,” jawab murid-murid serentak. Guru lalu
menyampaikan pesan yang sama dalam bahasa Indonesia.
Sementara murid-murid menyiapkan buku dan pena mereka, guru menulis 15
nama binatang dalam bahasa Indonesia di papan tulis, berderet ke bawah. Setelah
selesai, dia berkeliling kelas melihat-lihat apakah murid-muridnya menulisnya
dengan benar ejaannya. Kadang dia berhenti untuk membantu murid yang
mengalami kesulitan.
Setelah murid-murid selesai menuliskan ke-15 nama binatang tersebut, dia
meminta anak-anak melihat papan tulis. “Siapa yang tahu bahasa Inggrisnya nama
binatang-binatang ini?” Sutanto tunjuk jari. “Bagaimana yang lain?” Tidak ada
yang menanggapi. “Baiklah. Apa yang kamu ketahui, Susanto?” “Saya tahu dua
saja, Bu. Kucing disebut / at/ (diucapkan seperti kalau membaca bahasa

Indonesia) dan sapi / ow/.” “Coba kamu tulis dua nama itu di samping nama
bahasa Indonesia di papan tulis itu,” pinta gurunya. “Bagus. Tetapi membacanya
tidak begitu.” Dia memberikan contoh melafalkan kedua nama tersebut secara
benar dan minta murid-murid untuk menirukan bersama-sama. Kemudian dia
melengkapi nama-nama 15 binatang dalam bahasa Inggris. Kemudian dia
mengambil alat penunjuk dan minta murid-murid untuk menirukan guru. Dengan
menunjukkan alat itu ke nama-nama bahasa Inggris binatang di papan tulis satu
per satu, dia melafalkan nama itu dan murid-muridnya menirukannya secara
klasikal. Kemudian dia minta separuh kelas (sisi kanan) menirukan dan
separuhnya lagi (sisi kiri) mendengarkan, dan sebaliknya. Langkah ini diikuti
pengecekan secara individual dengan minta 6 orang murid satu per satu
menirukan pelafalan nama-nama binatang tersebut. Kegiatan terakhir menirukan


dilakukan seluruh kelas. (Lafal guru sempurna).
Lalu gur u berkata, ” I like birds. I do not like cats. Do you like cats, Surti ?” Surti
diam. “Saya suka burung. Saya tidak suka kucing. Apakah kamu suka kucing,
Surti?” “Tidak, Bu.” “Kamu, Tanto?” “Ya, Bu.” Lalu dia menuliskan di papan
tulis kalimat 1. I like birds. I do not like cats; 2.Tanto likes cats; 3.Surti does not
like cats. Lalu dia menerjemahkan empat kalimat dalam bahasa Indonesia. Murid-
murid diminta menurun empat kalimat tersebut dalam bukunya dan dia berkeliling
kelas untuk memeriksa apakah mereka benar dalam ejaan. Bebrapa kali dia
membantu murid yang salah ejaannya.
Setelah selesai menulis, murid-murid diminta melihat papan tulis dan membuat
dua kalimat sejenis dengan contoh nomor 1 dan 2 sesuai dengan binatang yang
disukai dan tidak disukai. Lalu sekitar separuh kelas diminta maju satu per satu
untuk membaca kalimatnya. Guru membetulkan lafal yang salah.
Karena waktu sudah habis, guru memberi PR dengan meminta setiap anak untuk
menanyakan 10 teman, boleh teman sekelas atau kakak/adik kelas binatang apa
yang mereka sukai dan tidak sukai di antara 10 binatang yang ada dalam daftar.
Terakhir guru memberi salam perpisahan dengan mengucapkan, “Good bye,” dan
dijawab oleh sebagian murid.

Ilustrasi Vignette Pembelajaran Bahasa Inggris Kelas IV SD

Seperti dapat dilihat dalam ilustrasi di atas, guru telah melibatkan siswa
dalam kegiatan pembelajaran. Akan tetapi kegiatannya terbatas pada
pembelajaran tentang lafal, dan terjemahan kata per kata, lalu membuat kalimat
terpisah. Tampak bahwa siswa terlibat aktif, tetapi ditinjau dari sudut pandang
pembelajaran bahasa komunikatif, proses pembelajaran tersebut belum baik
karena belum melibatkan siswa dalam kegiatan menggunakan ungkapan-
ungkapan yang dipelajari untuk berkomunikasi, misalnya lewat permainan dan
bermain peran.
Data awal tersedia dalam beberapa vignette yang dicermati bersama oleh
peneliti dan kolaboratornya dalam suasana terbuka di mana setiap peserta


penelitian mendapatkan hak berbicara sehingga terjadi dialog profesional yang
enak. Tentu saja masalah yang ditemukan tidak mungkin hanya satu; biasanya ada
sederet masalah. Maka, peneliti bersama kolaboratornya perlu membatasi
masalah, atau menentukan fokus penelitian. Dalam kasus pengajaran bahasa
Inggris di atas, kualitas pembelajaran di kelas dianggap sebagai masalah yang
perlu segera dipecahkan agar hasil pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai,
yaitu keterampilan menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Setelah
ditentukan, masalah perlu dirumuskan.

b. Perumusan masalah
Seperti telah disebutkan di atas, masalah penelitian tindakan yang
merupakan kesenjangan antara keadaan nyata dan keadaan yang diinginkan
hendaknya dideskripsikan untuk dapat merumuskannya. Pada intinya, rumusan
masalah harus mengandung deskripsi tentang kenyataan yang ada dan keadaan
yang diinginkan.
Dalam pada Tablel 3.1. rumusan ada deskripsi tentang keadaan nyata dan
deskripsi tentang keadaan yang diinginkan dan kesenjangan antara dua keadaan
tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan dengan menutupnya melalui
tindakan yang sesuai. Bagaimana cara menutupnya? Karena penelitian tindakan
merupakan kegiatan akademik dan profesional, seorang peneliti perlu mencari
wawasan teoretis dari pustaka yang relevan untuk dapat menentukan cara-cara
yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitiannya. Pustaka yang
ditinjau hendaknya mencakup teori-teori dan hasil penelitian yang relevan. Satu
hal yang perlu diingat adalah bahwa teori dalam penelitian tindakan bukan untuk
diuji, melainkan untuk menuntun peneliti dalam membuat keputusan-keputusan
selama proses penelitian berlangsung. Wawasan teoretis sangat mendukung
proses analisis masalah.
Pada akhir tinjauan pustaka, peneliti tindakan dapat mengajukan hipotesis
tindakan atau pertanyaan penelitian.

2. Analisis Masalah


Analisis masalah perlu dilakukan untuk mengetahui demensi-dimensi
masalah yang mungkin ada untuk mengidentifikasikan aspek-aspek pentingnya
dan untuk memberikan penekanan yang memadai.
Analisis masalah melibatkan beberapa jenis kegiatan, bergantung pada
kesulitan yang ditunjukkan dalam pertanyaan masalahnya; analisis sebab dan
akibat tentang kesulitan yang dihadapi, pemeriksaan asumsi yang dibuat kajian
terhadap data penelitian yang tersedia, atau mengamankan data pendahuluan
untuk mengklarifikasi persoalan atau untuk mengubah perspektif orang-orang
yang terlibat dalam penelitian tentang masalahnya. Kegiatan-kegiatan ini dapat
dilakukan melalui diskusi di antara para peserta penelitian dan fasilitatornya, juga
kajian pustaka yang gayut.

Tabel 3.1: Masalah dan Rumusannya
No. Masalah Rumusan
1. Rendahnya kemampuan Mahasiswa semester 5 mestinya telah mampu
mengajukan pertanyaan mengajukan pertanyaan yang kritis, tetapi dalam
kritis di kalangan kenyataannya petanyaan mereka lebih bersifat
mahasiswa klarifikasi
2. Rendahnya ketaatan Staf di kantor ini mestinya melakukan apa yang
staf pada perintah diperintahkan atasannya, tetapi dalam
atasan kenyataanya mereka sering sekali melakukan hal-
hal yang tidak diperintahkan
3. Rendahnya keterlibatan Siswa kelas bahasa Inggris mestinya terlibat
siswa dalam proses secara aktif dalam kegiatan belajar menggunakan
pembelajaran bahasa bahasa Inggris lewat kegiatan yang
Inggris menyenangkan, tetapi dalam kenyataan mereka
sangat pasif.
4. Rendahnya kualitas Pengelolan interaksi guru-siswa-siswa mestinya
pengelolaan interaksi memungkinkan setiap siswa untuk aktif terlibat
guru-siswa-siswa dalam proses pembelajaran, tetapi dalam


kenyataan interaksi hanya terjadi antara guru
dengan beberapa siswa.
5. Rendahnya kualitas Proses pembelajaran bahasa Inggris mestinya
proses pembelajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar
bahasa Inggris ditinjau menggunakan bahasa tsb. secara komunikatif,
dari tujuan tetapi dalam kenyataannya kegiatan pembelajaran
mengembangkan terbatas pada kosakata, lafal dan struktur.
keterampilan
berkomunikasi dalam
bahasa tersebut
6. Rendahnya kemandirian Kemandirian belajar siswa SLTP mestinya telah
belajar siswa di suatu berkembang jika kegiatan pembelajarannya
sekolah menengah atas. mendukungnya, tetapi dalam kenyataannya
dominasi peran guru telah menghambat
perkembangannya

Untuk mempertajam hasil analisis, peneliti dapat berusaha menjawab
sebagian pertanyaan di bawah ini yang dianggap gayut dengan permasalahannya
(Kemmis dan McTaggart, 1988):
a. Apa hubungan antara individu dan kelompok dalam situasi ini?
b. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara jati diri
individual dan budayanya ?
c. Bagaimana situasi ini menunjukkan kerja hubungan antara nilai-nilai orang
dan kepentingan diri mereka?
d. Sejauh mana situasi ini dibentuk oleh kondisi objektif, dan sejauh mana situasi
dibentuk oleh kondisi subjektif (harapan, cara memahami dunia) orang-orang
yang terlibat.
e. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang kekuatan, khususnya hubungan
antara kendali dan perlawanan?
f. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara pertentangan
dan perlembagaan?


g. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara agen manusia
(kapasitas kemauan manusia) dan struktur sosial (kerangka kerja sosial) yang
membentuk dan membatasi kapasitas untuk melaksanakan kemauan?
h. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara teori dan
praktik?
i. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara proses dan
produk?
j. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara pendidikan
dan masyarakat ?
k. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara reproduksi
dan transformasi?
l. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara stabilitas (atau
kesinambungan sejarah) dan perubahan (atau keputusan sejarah)?
m. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara keadaan dan
konsekuensi, atau tentang hubungan antara tujuan dan pencapaian?

Tentu saja peneliti mungkin dapat menjawab semua pertanyaan di atas
atau menjawab semua pertanyaan secara menyeluruh. Namun daftar pertanyaan
ini dapat membantu peneliti dalam memahami situasi yang ada bersama gejala-
gejala yang perlu diteliti.
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin akan membuat peneliti merasa
miskin pengetahuan tentang situasi yang akan diteliti sehingga mampu melihat
kekurangan pada dirinya. Kemampuan untuk melihat kekurangan yang ada pada
dirinya adalah salah satu persyaratan bagi keberhasilan penelitian tindakan itu
sendiri, seperti telah disebutkan pada Bab II. Bandingkan siratan semua
pertanyaan di atas dengan komentar yang terkenal dari Isaac Newton seperti
dikutip di bawah ini.

I don’t know what I may appear to the world, but to myself I seem to have been
only a boy playing on the sea-shore, and diverting myself in now and again
finding a smother pebble or the prettier shell than ordinary, whilst the great


ocean of truth lay all undiscovered before me. ( dalam Kemmis dan McTagart,
1988: 99)
(Saya tidak tahu bagaimana saya ini tampak di dunia, tetapi saya sendiri merasa
hanyalah seorang bocah laki-laki yang bermain di pantai, dan lari mondar-mandir
ke segala arah dari waktu ke waktu untuk menemukan batu kecil yang lebih halus
atau kerang yang lebih cantik dari biasanya, sementara samudera kebenaran
terbentang di depanku penuh rahasia).

3. Perumusan Hipotesis Tindakan
Hipotesis dalam penelitian tindakan bukan hipotesis perbedaan atau
hubungan, melainkan hipotesis tindakan. Idealnya hipotesis penelitian tindakan
mendekati keketatan penelitian formal. Namun situasi lapangan yang senantiasa
berubah membuatnya sulit untuk memenuhi tuntutan itu.
Rumusan hipotesis tindakan memuat tindakan yang diusulkan untuk
menghasilkan perbaikan yang diinginkan. Untuk sampai pada pemilihan tindakan
yang dianggap tepat, peneliti dapat mulai dengan menimbang prosedur-prosedur
yang mungkin dapat dilaksanakan agar perbaikan yang diinginkan dapat dicapai
sampai menemukan prosedur tindakan yang dianggap tepat. Dalam menimbang-
nimbang berbagai prosedur ini sebaiknya peneliti mencari masukan dari sejawat
atau orang-orang yang peduli lainnya dan mencari ilham dari teori/hasil penelitian
yang telah ditinjau seblumnya sehingga rumusan hipotesis akan lebih tepat..
Contoh hipotesis tindakan akan diberikan di sini. Situasinya adalah kelas
yang siswa-siswanya sangat lamban dalam memahami bacaan. Berdasarkan
analisis masalahnya peneliti menyimpulkan bahwa siswa-siswa tersebut memiliki
kebiasaan membaca yang salah dalam memahami makna bahan bacaannya, dan
bahwa ‘kesiapan pengalaman’ untuk memahami konteks perlu ditingkatkan. Maka
hipotesis tindakannya sebagai berikut: “Bila kebiasaan membaca yang salah
dibetulkan lewat teknik-teknik perbaikan yang tepat dan ‘kesiapan pengalaman’
untuk memahami konteks bacaan ditingkatkan, maka para siswa akan meningkat
kecepatan membacanya.” Apabila setelah dilaksanakan tindakan yang
direncanakan dan telah diamati, hipotesis tindakan ini ternyata meleset dalam arti


pengaruh tindakannya belum seperti yang diinginkan, peneliti harus merumuskan
hipotesis tindakan yang baru untuk putaran penelitian tindakan berikutnya.
Dengan demikian, dalam suatu putaran spiral penelitian tindakan, peneliti
merumuskan hipotesis, dan pada putaran berikutnya merumuskan hipotesis yang
lain, dan putaran berikutnya lagi merumuskan hipotesis yang lain lagi ... begitu
seterusnya, sehingga pelaksanaan tugas terus meningkat kualitasnya.
Untuk masalah-masalah yang dicontohkan di atas, diberikan contoh
rumusan hipotesis tindakannya dalam Tabel 3.2 di bawah.

Tabel 3.2: Masalah, Rumusan Masalah dan Hipotesis Tindakan
No Masalah Rumusan Hipotesis Tindakan
1. rendahnya Mahasiswa semester 5 Jika tingkat kekritisan
kemampuan mestinya telah mampu pertanyaan mahasiswa
mengajukan mengajukan pertanyaan dijadikan penilaian
pertanyaan kritis yang kritis, tetapi dalam kualitas partisipasi
di kalangan kenyataannya petanyaan mereka setelah diberi
mahasiswa mereka lebih bersifat contoh dengan
klarifikasi pembahasan-nya,
kemampuan mengajukan
pertanyaan kritis mereka
akan meningkat.

2. rendahnya Staf di kantor ini mestinya Jika diterapkan sanksi
ketaatan staf melakukan apa yang terhadap ketidaktaatan
pada perintah diperintahkan atasannya, terhadap perintah atasan
atasan tetapi dalam kenyataanya setelah dibahasa akibat
mereka sering sekali buruknya, ketaatan staf
melakukan hal-hal yang terhadap perintah atasan
tidak diperintahkan akan meningkat.



3. rendahnya Siswa kelas bahasa Inggris Dengan kegiatan yang
keterlibatan mestinya terlibat secara aktif menyenangkan di mana
siswa dalam dalam kegiatan belajar mereka belajar
proses menggunakan bahasa Inggris menggunakan bahasa
pembelajaran lewat kegiatan yang Inggris, keterlibatan siswa
bahasa Inggris menyenangkan sehingga dalam kegiatan belajar
dan rendahnya motivasi belajarnya tinggi, akan meningkat, dan
motivasi belajar tetapi dalam kenyataan begitu juga motivasi
mereka mereka kurang sekali terlibat belajar mereka.
sehingga motivasi mereka
rendah.

4. rendahnya Kualitas pembelajaran Jika kegiatan
kualitas bahasa Inggris mestinya pembelajaran difokuskan
pembelajaran tinggi jika kegiatannya pada pengembangan
bahasa Inggris terfokus untuk kompetensi komunikatif
ditinjau dari mengembangkan kemahiran berbahasa Inggris,
tujuan berkomunikasi dalam bahasa kualitas pembelajaran
mengembangkan Inggris, tetapi dalam akan meningkat.
keterampilan kenyataannya focus terlalu
berkomunikasi berat pada kegiatan untuk
dalam bahasa menguasai pengetahuan
tersebut tentang grammar dan
kosakata bahasa Inggris.

5. rendahnya Kemandirian belajar siswa Jika kegiatan
kemandirian SLTP mestinya telah pembelajaran diciptakan
belajar siswa di berkembang jika kegiatan untuk memenuhi
suatu sekolah pembelajarannya kebutuhan perkembangan
menengah mendukungnya, tetapi dalam masing-masing siswa,


pertama kenyataannya dominasi kemandirian belajar siswa
peran guru telah akan meningkat.
menghambat
perkembangannya

Untuk melengkapi contoh hipotesis tindakan, berikut disajikan hipotesis
tindakan suatu proyek penelitian tindakan yang dilaporkan oleh Elliott (1988)
seperti disajikan di bawah.
a. Guru tidak mungkin bergeser dari situasi formal kalau mereka menggunakan
pendekatan terstruktur jangka pendek
Yang dimaksud dengan pendekatan terstruktur jangka pendek adalah
pendekatan untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan dalam
waktu yang singkat. Penggunaan terstruktur jangka pendek cenderung
menceburkan guru ke dalam salah satu dari dua dilema yang mungkin timbul.
Pertama, ada kemungkinan bahwa siswa menggunakan alur penalaran yang
berbeda dengan alur penalaran yang diinginkan oleh guru. Katakan misalnya,
guru telah menentukan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan. Karena
ada perbedaan alur penalaran antara dia dan siswanya, dia terpaksa mencapai
tujuan itu dalam waktu yang lebih lama, atau dia harus mengendalikan
penalaran siswa agar sama dengan alur penalarannya. Jika cara kedua yang
dipilih, ketergantungan intelektual siswa pada posisi orang yang berwenang
pasti bertambah. Kedua, siswa mungkin sama sekali tidak dapat melakukan
banyak penalaran. Lagi-lagi, agar mencapai tujuan dalam waktu yang
ditentukan guru mungkin membimbing siswa ke arah tujuan itu dengan
memberinya terlalu banyak petunjuk. Dalam situasi seperti itu kemungkinan
besar siswa banyak menebak ke arah mana jawaban yang diinginkan oleh guru
karena mereka tidak ingin terlalu menyimpang dari jawaban yang diinginkan
oleh guru. Dengan demikian, siswa mulai kehilangan kemerdekaan
penalarannya. Dengan kata lain, ketergantungan siswa kepada guru
meningkat.



b. Untuk menghilangkan tebak-menebak dan bergeser dari situasi formal ke
situasi informal, guru mungkin harus menahan diri untuk tidak melakukan
hal-hal berikut:

1) Mengubah topik
Guru mengubah topik yang sedang dibicarakan mungkin menghambat
siswa dalam mengungkapkan dan mengembangkan gagasan-gagasannya
sendiri karena siswa cenderung menafsirkan perubahan tersebut sebagai
usaha untuk mendapatkan kesesuaian dengan alur penalaran tertentu.
2) Penguatan positif
Ungkapan tanggapan positif yang terlalu mantap, seperti ‘bagus’,
‘menarik’, dan ‘betul’ sebagai tanggapan terhadap gagasan tertentu yang
diungkapkan siswa dapat menghalangi pengungkapan dan pembahasan
gagasan-gagasan yang lain karena siswa cenderung menafsirkan
penguatan tersebut sebagai usaha untuk mengesahkan pengembangan
gagasan tertentu saja, dan menutup kemungkinan pengembangan gagasan-
gagasan yang lain.
3) Pengajuan pertanyaan kritis secara selektif
Guru yang mengajukan pertanyaan yang kritis kepada siswa-siswa tertentu
saja dan bukan kepada siswa-siswa lainnya mungkin menghalangi
kelompok siswa pertama untuk mengembangkan gagasan-gagasannya
karena pertanyaan demikian cenderung ditafsirkan sebagai evaluasi negatif
terhadap gagasan-gagasan yang diungkapkan.
4) Pertanyaan dan pernyataan yang mengarah
Pertanyaan dan pernyataan yang mengandung informasi tentang jawaban
yang diinginkan guru mungkin menghalangi siswa untuk mengembangkan
gagasan-gagasan sendiri karena mereka cenderung menafsirkan tindakan
demikian sebagai usaha menghambat atau membatasi arah pemikiran
mereka.
5) Mengundang kesepakatan bulat


Guru menanggapi gagasan-gagasan siswa dengan pertanyaan seperti
‘Apakah kalian semua setuju?’ atau ‘Apakah ada yang tidak setuju?’
cenderung menghalangi pengungkapan keragaman pikiran atau pendapat.
6) Urutan pertanyaan/jawaban
Guru yang selalu mengajukan pertanyaan setelah mendengar jawaban
siswa terhadap pertanyaan sebelumnya mungkin menghalangi siswa untuk
mengemukakan gagasan-gagasan mereka sendiri karena siswa mungkin
menafsirkan pola demikian sebagai usaha untuk mengendalikan masukan
dan urutan gagasan.
7) Mengendalikan informasi faktual
Guru yang menyampaikan informasi faktual secara pribadi, apakah secara
lisan atau tertulis, mungkin menghalangi siswa untuk mengevaluasinya
karena siswa cenderung menafsirkan intervensi demikian sebagai usaha
untuk membuat mereka menerima kebenaran.
8) Tidak meminta evaluasi
Guru yang tidak meminta siswanya untuk mengevaluasi informasi yang
mereka pelajari mungkin menghalangi mereka untuk mengritik karena
siswa cenderung menafsirkan situasi tersebut sebagai hal yang melarang
adanya kritik.

c. Guru yang menggunakan pendekatan terstruktur jangka panjang dalam
konteks di mana siswa secara psikologis bergantung kepada guru lebih kecil
kemungkinannya untuk bergeser dari situasi formal dibandingkan dengan
guru yang menggunakan pendekatan tak terstruktur.

Ketika siswa sangat bergantung kepada guru secara psikologis, guru mungkin
dapat mengurangi ketergantungan tersebut dengan jalan meyakinkan bahwa
mereka tidak dapat mendapatkan jawaban daripadanya. Pertanda apa pun yang
menunjukkan digunakannya pendekatan terstruktur, meskipun dalam jangka
panjang, mendorong mereka untuk menghabiskan tenaganya untuk
medapatkan jawaban dari gurunya. Tentu saja, guru dapat berusaha


meyakinkan siswanya bahwa dia tidak memiliki jawaban yang diinginkan,
tetapi mungkin cara yang baik adalah mengusahakan mencapai tujuan-tujuan
yang tak terstruktur sehingga siswa lebih leluasa dalam mengembangkan
gagasan-gagasan mereka untuk sampai pada jawaban yang diinginkan.

Last modified: Senin, 9 April 2007, 11:31

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger